Sarwapapasyakaranam, kusalasyo pasampada, swaciita paridapanam, ettadbudhanusasanam, sarwe sattwah, sarwe buthah, sarwe praninah sukinoh bhawantu swaha


Kamis, 08 April 2010

Manusia Yadnya


1. Tujuan :
Memelihara serta membersihkan lahir batin manusia sejak terjadi pembuahan di dalam kandungan sampai akhir hidupnya, sehingga dapat melakukan perbuatan yang berlandaskan ajaran agama ( dharma ) dalam usaha mencapai nirbana ( moksa yakni bersatunya atman dengan brahman ; Brahman atman aikyam ).
Perlunya penyucian dalam hidup manusia disebutkan dalam salah satu kitab suci yaitu Silakrama, Weda Smrti sebagai berikut :
" Adbhir gatrani sudhyanti, manah styena sudhyanti
widyatapobhyam bhrtatma, buddhir jnanena sudhyanti "
artinya :
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran,
Roh dibersihkan dengan ilmu dan tapa, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.

2. Rangkaian Upacara Manusa Yadnya
A. Upacara Garbha Wedana ( Magedong-gedongan )
Upacara ini ditujukan pada janin ( si bayi yang ada dalam kandungan ) dan merupakan upacara manusa yadnya pertama sejak menjadi manusia. Upacara ini dilaksanakan saat bayi berumur 5-7 bulan ( penghitungan Bali ).
Tujuannya adalah : membersihkan serta memohon keselamatan jiwa raga si bayi, agar kelak menjadi orang berguna ( suputra, sadhu gunawan ) bagi masyarakat dan keluarga. Demikian pula dimohonkan keselamatan atas diri si Ibu dan lancar pada waktu melahirkan.

Susunan Upakara
* Tingkatan terkecil ( nista )
- untuk memohon pengelukatan : peras, ajuman, dkasina, canang lenga wangi, burat wangi, dan pebersihan. Banten ini dihatrukan kepada sulinggih.
- Untuk panglukatan : Periuk tanah yang baru berisi air pancuran, bunga 11 jenis, bunga tunjung/teratai beserta daunnya, dilengkapi ujung cabang bunut, ancak, beringin, masing-masing 3 buah dan samsan daun dapdap, daun temen serta bija kuning.
Air ini akan dipujai oleh sulinggih kemudian dipakai ngelukat orang yang hamil. Pelaksanaanya bersamaan saat sulinggih " nyurya Sewana ".

Rabu, 07 April 2010

Asta Kosala dan Asta Bumi


Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan.
Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih.
Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab: Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana.
Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:

1 Tujuan Asta Bumi adalah
a. Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi
b. Mendapat vibrasi kesucian
c. Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi

2. Luas halaman
a. Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran “depa” (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci lainnya): 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran depa: 1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa: 2×1,3×2, 4×3, 5×4, 6×5, 7×6, 11×7, 12×11, 14×12, 15×14, 19×15.

b. Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran depa: 4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa: 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa: 6×5, 13×6, 18×13
Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu: 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali.
Misalnya untuk halaman yang memanjang dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(19×15), 5x(19×15), 7x(19×15), 9x(19×15), 11x(19×15).
Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(18×13), 5x(18×13), 7x(18×13), 9x(18×13), 11x(18×13).
HULU-TEBEN.

“Hulu” artinya arah yang utama, sedangkan “teben” artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu yaitu
1. Arah Timur, dan
2. Arah “Kaja”
Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas.
Arah kaja adalah letak gunung atau bukit.
Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.

BENTUK HALAMAN.
Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda, sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala.

PEMBAGIAN HALAMAN.
Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu:
1.Utama Mandala
2.Madya Mandala
3.Nista Mandala.
Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi madya mandala dan nista mandala berbentuk lain.
Utama mandala adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi;
Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala;
Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama.
Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya mandala dibangun sarana-sarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada pelinggih
“Lebuh” yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual makanan, dll.
Batas antara nista mandala dengan madya mandala adalah “Candi Bentar” dan batas antara madya mandala dengan utama mandala adalah “Gelung Kori”, sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan jalan.

MENETAPKAN PEMEDAL.
Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal sebagai berikut: 1) Ukur lebar halaman dengan tali. 2) Panjang tali itu dibagi tiga. 3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah “as” pemedal. Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.

JARAK ANTAR PELINGGIH.
Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu “depa”, kelipatan satu depa, “telung tapak nyirang”, atau kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian “depa” sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan “telung tampak nyirang” adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok “penyungsung” (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke “Piasan” dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.

PELINGGIH (STANA) YANG DIBANGUN.
Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu “putra” Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah: PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan. BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. Di Madya Mandala dibangun BALE GONG, tempat gambelan, BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala. BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.
Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat “turut” 3,5,7,9, dan 11. “Turut” artinya “berjumlah”. Turut 3: Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing. Turut 5: Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, “Baturan Pengayengan” yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain. Turut 7: adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan “Rua Bineda” atau dua hal yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll. Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali. Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan).
Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben kanan.

Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.

Untuk melakukan pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang mpunya rumah. mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti
1. Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
2. Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
3. Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)

A Landasan Filosofis, Etis. dan Ritual
A.1. Landasan filosofis.
1.1. Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung.
Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.
1.2. Unsur- unsur pembentuk.
Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hit a Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.

A.2. Landasan Etis
2.1. Tata Nilai.
Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala.
2.2. Pembinaan hubungan dengan lingkungan.
Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha

A.3. Landasan Ritual
Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.

B. Konsepsi perwujudan
Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam :
1. Keseimbangan alam
2. Rwa Bhineda, Hulu- teben, Purusa- Pradhana
3. Tri Angga dan Tri Mandala.
4. Harmonisasi dengan lingkungan.
5. Keseimbangan Alam:
Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
6. Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana.
Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
7. Tri Angga dan Tri Mandala.
Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni)
dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang
bernilai kanista (misalnya: kandang).
Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri Angga) yaitu Utama Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).
8. Harmonisasi dengan potensi lingkungan.
Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu.

C. Pemilihan Tanah Pekarangan.
1. Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas).
2. Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :
2.1. karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
2.2. karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
2.3. karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
2.4. karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
2.5. karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
2.6. karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
2.7. karang tenget,
2.8. karang buta salah wetu,
2.9. karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
2.10. karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
2.11. tanah yang berwarna hitam- legam, berbau “bengualid” (busuk)

3. Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.

4. Perumahan Dengan Pekarangan Sempit, bertingkat dan Rumah Susun.

C.1. Pekarangan Sempit.
Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta).
Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar.

C.2. Rumah Bertingkat.
Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.

C.3. Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.

D. Dewasa Membangun Rumah.
D.1. Dewasa Ngeruwak :
Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi.
Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa.
D.2. Nasarin :
Watek: Watu.
Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi,
Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
D.3. Nguwangun
Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
D.4. Mengatapi
Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
Dewasa ala : geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
D.5. Memakuh/ Melaspas
Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa.

E. Upacara Membangun Rumah.
E.1. Upacara Nyapuh sawah dan tegal.
Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal.
Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah “Angrubah sawah” dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis.

E.2. Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan.
Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna.
Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.

E.3. Upakara Pemelaspas.
Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara

E.4. dan upakara tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi setempat.


Asta Kosala Kosali – Fengshui ala Bali
Tanah dan tata letak rumah berpengruh terhadap kehidupan penghuninya.lontar asta kosala kosali atau asta bumi bisa dijadikan acuan.Bagaimanakah bangunan arsitek bali yang bisa membuat penghuninya bisa nyaman dan bahagia.
Menurut ida Pandita dukuh Samyaga,perkebangan arsitektur bangunan Bali,tak lepas dari peran beberapa tokoh sejarah bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11,atau zaman pemerintahan Raja Anak wungsu di Bali banyak mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali.
Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14,juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis dalam lontar Asta Bhumi dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur.
Penjelasan dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga.Lebih jauh dikemukakan,Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur,sebetulnya merupakan tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya.Dalam kisah tersebut,hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna.Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur.
Karenanya,tiap bangunan di bali selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma.Upacara demikian di lakukan mulai dari pemilihan lokasi,membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai.Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya.Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali,bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos). Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis,agar bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut.Karena itu,mebuat bagunan harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali.

Tanah
Membuat rumah yang dapt mendatangkan keberuntungan bagi penghuninya,bagi rohaniwan dari Banjar Semaga,Desa Penatih,Denpasar ini harus diawali dengan pemilihan lokasi (tanah) yang pas.Lokasi yang bagus dijadikan bagunan adalah tanah yang posisinya lebih rendah (miring) ke timur (sebelum direklamasi). Namun di luar lahan bukan milik kita,posisinya lebih tinggi.Demikian juga tanah bagian utaranya juga harus lebih tinggi.Bila tanah di pinggir jalan,usahakan posisinya tanah dipeluk jalan.Sangat baik bila ada air di arah selatan tetapi bukan dari sungai yang mengalir deras.Air harus berjalan pelan,tetapi posisi sungai juga harus memeluk tanah ,bukan sebaliknya menebas lokasi tanah.Diyakini,aliran air yang lambat membuat Dewa air sebagai pembawa kesuburan dan rejeki banyak terserap dalam deras.
Selain letak tanah,tekstur tanah juga harus dipastikan memiliki kualitas baik.Tanah berwarna kemerahan dan tidak berbau termasuk jenis tanah yang bagus untuk tempat tinggal.Untuk menguji tekstur tanah,cobalah genggam tanah tersebut.Jika setelah lepas dari genggaman tanah itu terurai lagi,berarti kualitas tanah tersebut cocok dipilih untuk lokasi perumahan.Cara lain untuk menguji tekstur tanah yang baik adalah dengan cara melubangi tanah tersebut sedalam 40 Cm persegi.Kemudian lubang itu diurug (ditimbun) lagi dengan tanah galian tadi.
Jika lubang penuh atau kalau bisa ada sisa oleh tanah urugan itu, berati tanah itu bagus untuk rumah.Sebaliknya jika tanah untuk menutup lubang tidak bisa memenuhi (jumlahnya kurang) berati tanah tersebut tidak bagus dan tidak cocok untuk rumah karena tergolong tanah anggker.Akan lebih baik memilih tanah yang terletak di utara jalan karena lebih mudah untuk melakukan penataan bangunan menurut konsep Asta kosala-kosali.Misalnya membuat pintu masuk rumah,letak bangunan,dan tempat suci keluarga (merajan/sanggah).Lokasi seperti ini memungkinkan untuk menangkap sinar baik untuk kesehatan.Tata letak pintu masuk yang sesuai,akan memudahkan menangkap Dewa Air mendatangkan rejeki.

Kurang Bagus
Jangan membangun rumah di bekas tempat-tempat umum seperti bekas balai banjar (balai masyarakat), bekas pura (tempat suci), tanah bekas tempat upacara ngaben massal(pengorong/peyadnyan)bekas gria (tempat tinggal pedande/pendeta) dan tanah bekas kuburan.Usahakan pula untuk tidak memilih lokasi (tanah)bersudut tiga atau lebih dari bersudut empat.Tanah di puncak ketinggian,di bawah tebing atau jalan juga kurang bagus untuk rumah karena membuat rejeki seret dan penghuninya akan sakit – sakitan.Demikian juga tanah yang terletak di pertigaan atau di perempatan jalan (simpang jalan) tidak bagus untuk tempat tinggal tetapi cocok untuk tempat usaha.Tanah jenis ini termasuk tanah angker karena merupakan tempat hunian Sang Hyang Durga Maya dan Sang Hyang Indra Balaka.

Tata Letak Bangunan
Setelah direklamasi (ditata) diusahkan bangunan yang terletak di timur,lantainya lebih tinggi sebab munurut masyarakat bali selatan umumnya,bagian timur dianggap sebagai hulu(kepala)yang disucikan.Sedangkan menurut fungsui,posisi bangunan seperti itu memberi efek positif.Sinar matahari tidak terlalu kencang,dan air tidak sampai ke bagian hulu.Bagunan yang cocok untuk ditempatkan diareal itu adalah tempat suci keluarga yg disebut merajan atau sanggah.Dapur diletakan di arah barat (barat daya) dihitung dari tempat yang di anggap sebagai hulu (tempat suci) atau di sebelah kiri pintu masuk areal rumah, karena menurut konsep lontar Asta Bumi,tempat ini sebagai
letak Dewa Api.

Sumur dan lumbung tempat penyimpanan padi sedapat mungkin diletakan di sebelah timur atau utara dapur.Atau di sebelah kanan pintu gerbang masuk rumah karena melihat posisi Dewa Air.

Bangunan balai Bandung (tempat tidur) diletakan diarah utara,sedangkan balai adat atau balai gede ditempatkan disebelah timur dapur dan diselatan balai Bandung.Bangunan penunjang lainnya diletakkan di sebelah selatan balai adat.

Pintu Masuk
Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap dewa air sebagai sumber rejeki ukuran pintu masuk juga harus diatur. Jika membuat pintu masuk lebih dari satu,lebar pintu masuk utama dan lainya tidak boleh sama.Termasuk tinggi lantainya juga tidak boleh sama. Lantai pintu masuk utama (dibali berbentuk gapura/angkul – angkul) harus dibuat lebih tinggi dari pintu masuk mobil menuju garase.jika dibuat sama akan memberi efek kurang menguntungkan bagi penghuninya bisa boros atau sakit-sakitan.Akan sangat bagus bila di sebelah kiri (sebelah timur jika rumah mengadap selatan) diatur jambangan air (pot air) yang disi ikan.

Ini sebagai pengundang Dewa Bumi untuk memberi kesuburan seisi rumah.Tak menempatkan benda – benda runcing dan tajam yang mengarah ke pintu masuk rumah seperti penempatan meriam kuno,tiang bendera,listrik dan tiang telepon atau tataman yang berbatang tinggi seperti pohon palm,karena membuat penghuninya sakit sakitan akibat tertusuk.Got dan tempat pembungan kotoran sedapat mungkin di buat di posisi hilir dan lebih rendah dari pintu masuk.Kalau menempatkan kolam di pekarangan rumah hendaknya dibuat di atas permukaan tanah(bukan lobang).Kolam di buat di sebelah kanan pintu masuk dengan posisi memelu rumah,bukan berlawanan.Karena keberadaan kolam yang tidak sesuai akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah.

Minggu, 04 April 2010

JINARTHIPRAKRTHI


Om Awighnam asthu!

Nahan laksana sang tathagata mahayana pwa yan kawruhi
Purneng rupa sacihna sang wiku huwus mandel haneng jro hati
Mundi goduwa len ganitri paragi mwang sambarasryaputih
Mwang tekang katiwandha yogapata sakweh ning sinangguh krama.(1)

Nahan mundi ngaranya sang makamanah dharmaswabhawahening
Suddha prakrti nisprapancamaya sunya jnana nirsanggraha
Nirsambodhana nirwikalpakamayalilang mahasaswata
Mundi pwaiki ngaranya nitya maparas murdhang lengis nityasa.(2)

Jnana wruh mangiring pasuk wetu nikang pranadi buddhyatsaha
Mwang wruh rider ikang sarira mahili mendran lana cakrawat
Ndah nityanghanaken prawesa makadon prityang prajamandala
Nahan teki ganitri tan pasalahan de sang mahapandita.(3)

Nirbyapara nikang manah ya ta maweh prityang nikang rat kabeh
Mwang sang dewa sireki mukhya ginawe tusta niran langgenga
Mwang sang rsi sireka langgenga siwin mangde sukha ning praja
Yeka goduwa tan kasah ri sira sang mahyun tumemwang taya.(4)

Buddhi lwir rawiteja lumra sumeno ring sarwatatwagama
Otsahana rajah tamah pada geseng sakweh nikang sadripu
Artha mwang kama sabda len dasamahabhayalahawreg hilang
Nahan tang paragi prasiddha tininget de sang masadya hayu.(5)


Jnana lwir hening ing langit kinatayan dening hima mwang limut
Wruh ring sarwawisesatatwa nguniweh ring buddhamargottama
Tingkah sri jina ring sarira kahidep dewi niran sakrama
Yeka sambara tan wenang winasehan tan bhasmi dening panas.(6)

Jnana wruh humidep ri sunyata nikang sarwatatwa dharmatmaka
Sthiraningseti tunggal ing sakalatatwa mwang sarirakrama
Mwang pancendriya buddhi tan pamisaya tan kapusan byapara
Nahan tang katiwandha ring paramatatwa ndan ginuhyeng manah.(7)

Prajna wruh ring awesa guhya atiyoga mwang hidep wiryawan
Salwir neng surapuja yeka kahidep nang dewaharakrama
Sarwopakriya sarwadesana telas tang mantra tantra stuti
Yeka yogapata prasiddha kumawitan wetwa ning durnaya.(8)

Jnanotsaha taman pegat mulahaken puja stuti sri jina
Suptadikriya tan katalyan iniwo nangken trisadhyatutur
Mangganghela tan artha karya magawe dharma trikayottama
Yekangken kaharan sawit ri sira sang pandyahyun ing sunyata.(9)

Pujanta sthiti sarwalaksana ya puja sing sasolah bhawa
Salwir ning wacanamanis parahitangken mantra nityasthiti
Sing cittanta japaprayoga magalar bayu triratna traya
Sing karyanta ya yogakarana ri siddha ning kayogiswaran.(10)

Silantaginaking mulat ya tika kembang tan malum nityasa
Sing sojarta kapanditan mijil arum gandha wanginyan sumar
Wruhteng tatwawisesa buddha ya tika wijanta nityagelar
Jnanahning humideng maya kadi minak yeka niwedyahalep.(11)



Nahan hetu ni sang wuwus wruh irikang dwimatratatwalicin
Byakta tinghala tatwa sakrama nikang tantrenusir sang wiku
Anghing jnanawisesa buddha kahidep tan dura tan sangsaya
Ndan samangkana tan sapeksa ri ulah lwir bhranta ring laksana.(12)

Wwanten teka gegon bratangkenan ikang de sang makinkin hayu
Nang satparamita prakasita gegon tang dana ring purwaka
Len tang sil muwah ta santi saha wirya dhyana len kawruhi
Prajnantyanya ya teka kawruhi nihan tang dana tingkah nika.(13)

Ambek nitya leba ring artha nguniweh yan twak sekul bhojana
Lawan stri tuwi putra putri yadiyan tawehaken ring maton
Rah len mangsa atinta soca yadiyan kawehaken ning maton
Nahan teka ya danaparamita yekin tambayan kawruhi.(14)

Raksekang jinasasana krama nikang siksa tata gegwani
Tan byapara tikang trikaya ring ulah yan ton sukha ning para
Nang pranatipatiwiratyadi ya teka dohaken purwaka
Nahan kawruhi silaparamita manggeh wwang tumengwang hayu.(15)

Ambek lwir madhu sinyukan madhu sedeng ning wwang maweh duhkhita
Tan molah humideng wisuddha mahening himper wiyat nirghana
Aptyaweha sekheng manah lara kedeh mahyun sukha ning manah
Santiparamita pwa nama nikahen yekan gego nityasa.(16)

Tan warsih nikanang trikaya pagawe karmahajeng nityasa
Yapwan ring rahineng sinapwan angaji mwang lot mamujanulis
Yan ring ratri majagra yoga japa lawan dhyana puja sthuti
Wiryaparamita ki kawruhi mahamargangusir sunyata.(17)



Jnananunggalaken sarira kalawan sing sarwasattwatmaka
Dehangkwajana sarwasatwa marika dehangku satwatmaka
Nahan hetu ni sih niraksama rika satwadikadhah tuwi
Yeka dhyana ngaranya paramita teki swargamargapageh.(18)

Jnana wruh ri atinta len anagata mwang wartamanakrama
Mwang ring sarwawisesatatwa samaya mwang sarwasastragama
Wahdyadhyatma wisesayoga sakala mwang dikwidikdewata
Prajnaparamita kramanya ta gegoh manggeh wekas ning brata.(19)

Nang satparamiteka purwaka gegontan mahyun ing sunyata
Byaktasih pwa bhatara buddha ri sira sampun kacittagraha
Apan mula wisesatantra wekas eng tattwenucap sang wiku
Jnanadwaya wisesatatwa nikihen dewi mahakarana.(20)

Wwanten paramita kramanya acatur brahmaviharapageh
Metri mwang karunadulur mudita len tekang upeksangiring
Nang satparamitapupul pwa yan lawan brahmawiharatemu
Yeka paramita prasiddha dasa saksat karuneng sri jina.(21)

Nahan metri ngaranya buddhi gumawe kahaywan ing rat kabeh
Lawan tang karuna pwa buddhi malaranon wwang mahaduhkhita
Len tekang mudita pwa buddhi sukha yan ton tusta ning wwang waneh
Ambek suddha parartha tan phala katonnyopeksa ling sang wiku.(22)

Lawan ta haywa malupeng bhuwanang sarira
Abdhi mwang adri paramottamadehatatwa
Manggeh pangasrayana ning mangusir kamoksan
Apan tika pwa maparek saki pada sanghyang.(23)

Nahan ta tingkah ing awak jaladhi kramanya
Raganta tan patepi yeka banunya majro
Dwesanta meweh ika teka karangnya durga
Mohanta wibhrama sumek ya tikombakagong.(24)

Dambhanta tan pahamengan kruramina rodra
Irsyanta sarwawisa sarpa wisesa mandi
Matsarya yeka talatekna suket maheweh
Lawan tikang trimala yeka harusnya madres.(25)

Lawan rajah tamah ika tang alusnya nitya
Krodhanta yeka ya riwut mariwung hanginya
Pancendriyangkena hudanya barat halisyus
Jnananta mudha rasa ning banu tikta lumra.(26)

Jnananta dhira ya ta panghilangan maheweh
Prajnanta yeka matemah ksirasagaralwa
Tekan puter ta ya ring adri mahawisesa
Nang linggacetya himawan ndin amandalani.(27)

Yeka ganitri ya ta sarwajinan patingkah
Nangken watek hyang amuter tikang adrilingga
Nang sutra yeki paramottamabuddhisattwa
Kangkenya naga pamuter nikanang watek hyang.(28)

Enak pwa denta mamuter nikanang watek hyang
Wijnana paramita teki wilangnya sunya
Hyang sri ya tanggalaniran rumuhun ta welkah
Kangken ta pawakaning amrta meh katemwa.(29)



Enak pwa nirwisaya ning ksiracitta sunya
Bayu triratna humeneng sthiti ekatana
Yeka ta darsana bhatara wisesabuddha
Maya prabhaswara sira nirakaradeha.(30)

Saksat sireka ta mahamrta suddha suci
Ndah yeka tang pana sirerika sari-sari
Byakta luput sira sakeng maranatiwrddha
Byakta kang astaguna tan sah awas panutnya.(31)

Nahan ta tingkah ika angga samudratatwa
Tingkah nikang tanu mahendra nihan kramanya
Ndan utamangga hata srngga ning anggaparswa
Padanta pada nikang adri sariratatwa.(32)

Sadwarga durgama suketnya jurangnya majro
Mong singha barwang ikanang trimalatirodra
Dursilatrsna paranganyan asarpa mandi.
Mwang tang rajah tamah udanya gelap halisyus.(33)

Kyeka pangasrayana ning mangusir kasiddhan
Bentar babad suket ikang ati ring kadhiran
Wruhteng mahaparamatatwa wadung atiksna
Wijnana dharma tarukan pagagan ta donya.(34)

Ndah yeka tunwani tayeng smrti suryatiksna
Byaktageseng sahana ning suket ing sarira
Sampun pwa nirmala geseng geleh ing swacitta
Manggeh tayan wuluku ring brata puja mantra.(35)

Sampun pwa tandurana yoga lawan samadhi
Rangkata yeng kusa lawula ni sila yukti
Jnanahening ya mangeno diwasantacandra
Byakta jinasmrti tuwuh nika saswatanggong.(36)

Byakta phala pwa ri katonta bhatara buddha
Manggeh sireka pangaranta pakopajiwan
Enak pwa denta masamuha lawan bhatara
Siddheka siddha kaharan tekan ing kamoksan.(37)

Irika ta karananyaya ndan ta wruhi rumuhun
Nihan iki phala manggeh nahan kawruhi wekasan
Krama ni tanu bhatara hyang buddhanghibeki sarat
Aganal alit anuksmasteswaryeccha nira sukha.(38)

Kunang iking inucap don nirdon ta mucapa rika
Apan ika teka poh ning karya mwang karana pinet
Nirawarana nikin ton lwir jnana niralaya
Aparek ika sakeng sri sarwajna saha mawekas.(39)

Jinarthiprakrti pralambang kamahayanin.

Sabtu, 03 April 2010

Canang


BANTEN

Beberapa Jenis Persembahan:


Canang Genten

Sebagai alas dapat digunakan taledan, ceper ataupun daun pisang yang berbentuk segi empat. Diatasnya berturut-turut disusun perlengkapan yang lain seperti: bunga dan daun-daunan, porosan yang terdiri dari satu/dua potong sirih diisi sedikit kapur dan pinang, lalu dijepit dengan sepotong janur, sedangkan bunganya dialasi dengan janur yang berbentuk tangkih atau kojong. Kojong dengan bentuk bundar disebut "uras-sari".

Bila keadaan memungkinkan dapat pula ditambahkan dengan pandan-arum, wangi-wangian dan sesari (uang). Waulupun perlengkapan banten ini sangat sederhana, tetapi hampir semuanya mempunyai arti simbolis antara lain: jejaitan/tetuwasan reringgitan, melambangkan kesungguhan hati, daun-daunan melambangkan ketenangan hati. Sirih, melambangkan dewa wisnu, kapur melambangkan dewa siva, pinang melambangkan dewa brahma, suci bersih, dan wangi-wangian sebagai alat untuk menenangkan pikiran kearah kesegaran dan kesucian.

Canang ini, baik besar maupun kecil bahkan selalu digunakan untuk melengkapi sesajen-sesajen yang lain, hanya saja bentuk alat serta porosannya berbeda-beda.

Canang Buratwangi

Bentuk banten ini seperti canang genten dengan ditambahkan "burat wangi" dan dua jenis "lenga wangi". Ketiga perlengkapan tersebut masing-masing dialasi kojong atau tangkih. Burat wangi dibuat dari beras dan kunir yang dihaluskan dicampur dengan air cendana atau mejegau. Ada kalanya dicampur dengan akar-akaran yang berbau wangi. Lenga Wangi ( minyak wangi) yang berwarna putih dibuat dari menyan, 'malem" ( sejenis lemak pada sarang lebah), dicampur dengan minyak kelapa. Lenga wangi (minyak wangi) yang berwarna kehitam-hitaman dibuat dari minyak kelapa dicampur dengan kacang putih, komang yang digoreng sampai gosong lalu dihaluskan.

Ada kalanya campuran tersebut dilengkapi dengan ubi dan keladi (talas), yang juga digoreng sampai gosong. Biasanya untuk memperoleh campuran yang baik, terlebih dahulu minyak kelapa dipanaskan, kemudian barulah dicampur dengan perlengkapan lainnya. Secara keseluruhan "lenga-wangi" dan "burat-wangi" melambangkan Hyang Sambhu. Menyan melambangkan Hyang Siva, Majegau melambangkan Hyang Sadasiva sedang cendana melambangkan Hyang Paramasiva.

Banten ini dipergunakan pada hari-hari tertentu seperti pada hari Purnama, Tilem, hari raya Saraswati dan melengkapi sesajen-sesajen yang lebih besar.



Canang Sari

Bentuk banten ini agak berbeda dengan banten/canang genten sebelumnya, yaitu dibagi menjadi dua bagian. Bagian bawahnya bisa berbentuk bulat ataupun segiempat seperti ceper atau taledan. Sering pula diberi hiasan "Trikona/plekir" pada pinggirnya. Pada bagian ini terdapat pelawa, porosan, tebu, kekiping (sejenis jajan dari tepung beras), pisang emas atau yang sejenis dan beras kuning yang dialasi dengan tangkih. Dapat pula ditambah dengan burat wangi dan lengawangi seperti pada canang buratwangi. Di atasnya barulah diisi bermacam-macam bunga diatur seindah mungkin dialasi dengan sebuah "uras sari/sampian uras".

Canang sari dilengkapi dengan sesari berupa uang kertas, uang logam maupun uang kepeng. Perlengkapan seperti tebu, kekiping, dan pisang emas disebut "raka-raka". Raka-raka melambangkan Hyang Widyadhara-Widyadhari. Pisang emas melambangkan Mahadewa, secara umum semua pisang melambangkan Hyang Kumara, sedangkan tebu melambangkan Dewa Brahma.

Canang sari dipergunakan untuk melengkapi persembahan lainnya atau dipergunakan pada hari-hari tertentu seperti: Kliwon, Purnama, Tilem atau persembahyangan di tempat suci.

Canang Pesucian

Canang ini disebut juga canang pengeraos yang terdiri atas dua buah aled atau ceper. Pada bagian bawah berisi kapur, pinang, gambir, tembakau yang dialasi dengan kojong. disusuni beberapa lembar daun sirih, sedangkan aled atau ceper yang lain berisi bija serta minyak wangi yang dialasi celemik atau kapu-kapu kemudian dilengkapi bunga yang harum.

Tadah Pawitrah / Tadah Sukla

Bentuknya seperti canang genten ditambahkan dengan pisang kayu yang mentah, kacang komak, kacang putih, ubi dan keladi. Semua perlengkapan digoreng dan masing-masing dialasi tangkih dan kojong. Banten ini dipergunakan untuk melengkapi beberapa jenis sesajen seperti: daksina Pelinggih dan lain-lainnya.

Cane

Dipakai sebuah dulang kecil dihiasi dengan sesertiyokan dari janur. Ditengah-tengahnya ditancapkan batang pisang. Disekitarnya diisi perlengkapan lain seperti: Bija, Air cendana dan burat wangi, masing-masing dialasi dengan empat buah tangkir atau mangkuk kecil. Dilengkapi pula dengan kojong empat buah yang berisi tembakau, pinang dan lekesan yaitu, 2 lembar sirih yang dilengkapi dengan gambir dan kapur dan diikat dengan benang. Dapat pula ditambah dengan rokok dan korek api sebanyak empat batang.

Bunganya ditancapkan menlingkar pada batang pisang dan paling diatas diisi cili atau hiasan-hiasan lainnya. Cane dipergunakan terutama pada waktu upacara melasti dijunjung mendahului pratima atau dasksina pelinggih. Cane juga digunakan pada rapat-rapat desa adat untuk memohon agar pertemuan berjalan lancar. Setelah pertemuan selesai, cane akan dilebar yaitu dengan jalan membagi-bagikan air cendana, Bidja, Bunga serta perlengkapan lainnya.

Canang Meraka

Sebagai alas dari canang ini digunakan ceper atau tamas, diatasnya diisi tebu, pisang, buah-buahan, beberapa jenis jajan dan sebuah "sampian" disebut "Srikakili" dibuat dari janur berbentuk kojong diisi plawa, porosan serta bunga. Sesungguhnya masih banyak jenis-jenis canang tubungan, Canang Gantal, Canang Yasa. Canang pengraos dan lain-lain.

Pada umumnya bahan yang diperlukan hampir sama, hanya bentuk porosan dan cara pengaturannya yang berbeda. Rupanya pemakaian sirih, kapur dan pinang mempunyai dua fungsi sebagai simbul atau lambang yaitu:
- Sirih melambangkan Dewa Wisnu
- Pinang melambangkan Dewa Brahma
- Kapur melambangkan Dewa Siwa

Untuk persembahan biasa berfungsi sebagai makanan, dalam hal ini penggunaannya dilengkapi dengan tembakau dan gambir.


Daksina

Alas Daksina disebut wakul Daksina atau bebedogan. Kedalamnya berturut-turut dimasukan tampak (sejenis jejahitan berbentuk silang atau tampak dara) beras, sebutir kelapa yang sudah dikupas sampai bersih (mekelas), serta beberapa perlengkapan yang dialasi dengan kojong seperti telur itik yang mentah, bija ratus (campuran berbagai biji-bijian), gantusan (campuran berbagai jenis bumbu), Kelawa peselan (Daun salak, ceruring, Manggis,durian, dll), base-tampel, kemiri (tingkih), tangi, Pisang kayui yang mentah, uang, canang payasan, yaitu sejenis canang genten tetapi alasnya berbentuk segitiga ditempelin dengan reringgitan yang khusus. Dapat pula dilengkapi dengan canang buratwangi atau canang sari atau yang lain.

Perlengkapan seperti telur itik uang, ataupun gantusan kiranya dapat digolongkan buah sebab pengertian buah mempunyai arti yang agak luas. Persembahan yang berupa daksina dianggap sudah lengkap sebagai mana disut dalam Bagawadgitha. Disamping itu penggunaan telir itik dan uang rupanya mempunyai fungsi tersendiri secara umum kelapa dapat digolongkan sebagai buah, tatapi yang lebih diutamakan airnya.

Diusahakan mempergunakan telur itik bukan telur ayam sebab itik lebih banyak menunjukan sifat-sifat satwam sedangkan ayam lebih banyak menunjukan sifat rajas dan tamas oleh karena itu pula beberapa daksina terutama yang melambangkan bhutkala dipergunakan telur ayam, tetapi bila ditujukan kepada Hyang Widhi para Dewat dan Leluhur sedapat mungkin dipergunakan telur itik. Penggunaan uang yang disebut pula sesari atau akah kiranya untuk menyempurnakan isi daksina sehingga persembahan yang dilengkapi dilengkapi dengan daksina benar-benar diharapkan memberikan kesukseskan atau hasil yang sebagai mana diharapkan.

Daksina disebut Juga "YadnyaPatni" yang artinya istri atau sakti daipada yadnya. Daksina juga dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru/ Hyang Tunggal kedua nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.


Ajuman

Bahan perlengkapan yang diperlukan untuk membuat ajuman adalah: nasi yang disebut "penek" atau "telompokan", beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk pauk berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan, ikan teri, telor, terung, timun, taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum), garam, dan sambal. Sebagai alasnya dapat digunakan "taledan" atau yang lainnya. Di atasnya diisi dua buah penek, lauk pauk yang dialasi dengan tangkih berbentuk segitiga, jajan buah-buahan dan sampaian soda (sampian ajuman) berbentuk tangkih. Kadang bagian atasnya dibuat agak indah seperti kipas disebut "sampian kepet-kepetan". Dapat pula dilengkapi dengan canang genten/ canang sari/ canang burat wangi.

Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut "perangkat atau perayun" yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper /ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain.


Peras

Perlengkapan serta cara penyusunannya hampir sama dengan ajuman, tetapi nasinya berbentuk tumpeng (dua buah), alasnya ditempeli "Kulit-peras" yaitu sejenis jejahitan yang khusus, sedangkan sampaiannya disebut Sampian Tupeng (Sampian Peras).

Banten ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain seperti: daksina, suci, tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam beberapa hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras dan benang putih. Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada "kulit-peras", dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti.

Kiranya kata "Peras" dapat diartikan "sah" atau resmi, seperti kata: "meras anak" mengesahkan anak, "Banten pemerasan", yang dimaksud adalah sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; dan bila suatu kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya "tan perasida", yang dapat diartikan "tidak sah", oleh karena itu banten peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu.


Banten Jotan

Banten jotan (saiban) disebut pula "Yajnasesa", merupakan yadnya setiap hari bagi umat Hindu di Bali khususnya. Di India juga dapat ditemukan hal yang sama. Bahan perlengkapannya adalah: sedikit nasi, garam, serta lauk pauk lainnya yang baru dimasak. sebagai alas dapat dipakai daun atau piring kecil-kecil.


Banten Suci

Alas dari banten suci ini adalah beberapa buah tamas. Warna jajan yang dipergunakan adalah putih dan kuning, jajan yang berwarna putih ditempatkan disebelah kanan dan yang kuning ditempatkan disebelah kiri. Di antara jajan tersebut ada yang dinamakan "sasamuhan" terbuat dari tepung beras yang dicampur sedikit tepung ketan, parutan kelapa serta air. Campuran tersebut lalu dibentuk kemudian digoreng. Jajan-jajan tersebut ada yang diberi nama: Kekeber, Kuluban, Puspa, Karna, Katibuan-udang, Panji, Ratu-magelung, Bungantemu dan lain sebagainya.

Yang perlu diperhatikan di sini adalah perbandingan antara jajan yang berwarna putih hendaknya lebih banyak dari pada jajan yang berwarna kuning, misalnya 12:6, 9:5, 7:5, 5:4, dst.

Pada banten suci tiap tempat /tamas diisi perlengkapan yang jumlahnya telah ditentukan, seperti: tamas yang paling bawah berisi pisang, tape, buah-buahan, masing-masing 5 biji/iris, jajan sesamuhannya 1 biji tiap jenis: tamas yang kedua berisi 2 biji/iris, dst. Secara sederhana 1 soroh suci terdiri dari: Suci, daksina, peras, ajuman, tipat kelan, duma (sejenis banten) pembersihan, canag lengawangi/ buratwangi, canang sari dan buah pisang. Pada upacara yang agak besar dilengkapi dengan perayunan.


Banten Gebogan/Pajegan

Gebogan atau pajegan adalah suatu bentuk persembahan berupa susunan dan rangkaian makanan termasuk juga buah-buahan dan bunga-bungaan. Umumnya dibawa dan ditempatkan dipura dalam rangkaian upacara Panca Yadnya. Ini karena keindahan bentuknya, hanya digunakan hanya sebagai dekorasi.


Penjor

Pejor adalah sarana keagamaan sebagai persembahan dan juga perlambangan Gunung Agung, Naga Basuki dan Naga Ananta Boga.Penjor dipasang pada hari penampahan Galungan di depan pintu masuk sebagai pertanda kemenangan dharma. Penjor dengan segala perlengkapannya, yang menggunakan hiasan seperti daun daunan, ibi ubian, buah buahan, jenis jajan, kain uang kepeng sebagai simbul dari Naga Anantha Bhoga dan Naga basuki.

Kedua Naga ini perlambang anugrah dari Hyang Widhi. Naga Anantha Boga simbul tanah yang dapat membrikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi kehidupan manusia. Sedangkan Naga Basuki lambang keselamatan, yaitu selamat dari penyakit, penderitaan. Itulah sebabnya, penjor menyerupai bentuk Naga, dengan kepalanya di bawah penjor dilukiskan mulut dari naga.

Pada hari Umanis galungan penjor tersebut digoyang goyangkan sedikit agar dahan perlengkapan yang tergantung jatuh dengan maksud mohon anugrah dari Hyang Widhi. Setelah budha keliwon Pegatwakan, 35 hari setelah Galungan penjor dicabut dan sampahnya dibakar habis abunya dimasukan ke dalam kelapa gading ditanam di depan rumah dengan harapan agar memberi sesuatu kekuatan untuk memperkokoh jiwa agar penghuni menjadi selamat



Lamak

Lamak adalah suatu ukiran dari janur, daun enau baik yang warna hijau maupun yang warna krem sebagai alas yang ditempatkan dalam suatu bangunan pelinggih. Dalam lamak terdapat berbagai ukiran simbol-simbol keagamaan yaitu: Simbul Gunungan atau kekayonan, Cili-cilian, Bulan, Bintang, Matahari dan sebagainya. Penggunaannya dilengkapi denga Plawa, Canang dan Dupa.